Laman

Please Select The Desired Language

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

2 Apr 2012

Sahabat dan Cinta


Saat pertama kali bertemu, aku sudah terpesona dengannya. Postur yang tinggi, kulitnya putih dan wajahnya yang tampan telah membuatku ingin mengenal jauh tentang dirinya.

Dia adik kelasku, namanya Bima. Saat itu aku hanya kagum kepadasnya tanpa memiliki perasaan apa pun kepadanya. Aku hanya menganggapnya sebagai adik, meski aku tidak tahu bagaimana perasaannya  sendiri kepadaku.

Hari terus berjalan, semakin hari aku semakin dekat dengannya. Kami saling menyapa bila bertemu dan bila aku ke Perpustakaan dia juga ke sana. Saat aku sakit, dia terus menerus menanyakan kabarku pada Bahri,  adik sepupuku. Kebetulan mereka saling mengenal meski bukan berasal dari kelas yang sama.

Dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit ada perasaan aneh di hatiku. Hatiku bergetar saat bertemu dengannya. Hatiku damai saat melihat senyumnya. Dan mulai saat itu aku berpikir, "apa ini yang namanya CINTA?"

“Ke kantin yuk” ajak sahabatku Noni saat bel istirahat berbunyi.

“Ayo..., kebetulan aku lapar” sahutku sambil bernjak dari tempat duduk.

Di kantin sambil melahap bakso, Noni bertanya padaku. “Kamu kenal Bima yang dari kelas 2 IPA?” tanyanya.

“Iya, kenapa ?” tanyaku dengan heran kenapa tiba-tiba dia bertanya mengenai Bima.

“Dia temannya Bahri kan? Tolong ya tanyakan semuanya tentang Bima ke dia. Alamat rumah, telepon rumah, no hp, dan….” Belum selesai dia melanjutkan kata-katanya, aku langsung tersedak.

“Pelan-pelan kalau makan” ujar Noni sambil mengusap pungungku.

Aku langsung tersenyum padanya. “Hayo !!! Kamu suka ya sama Bima?” ledekku. 

Noni memang sahabatku, tapi aku tidak pernah cerita padanya kalau aku juga suka sama Bima. Aku juga belum pernah cerita padanya kalau Bima sering sms-an denganku.

Dia sangat senang sekali ketika aku berjanji untuk membantunya supaya bisa kenal lebih dekat dengan Bima. Aku ingat ketika aku susah dia selalu membantuku maka sekarang giliranku untuk membantunya.

Kukenalkan Noni dengan Bima, kuberi nomor hp-nya. Mereka pun mulai berhubungan dan aku sangat senang sekali karena kini mereka mulai akrab. Mendengar dan melihat sahabatku gembira maka aku juga ikut gembira.

***

Selama KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) berlangsung, Noni tampak murung. Terlihat dari wajahnya dia tidak konsentrasi pada pelajaran. Aku biarkan dia seperti itu sampai proses KBM selesai.

“Kamu kenapa Non ?” tanyaku dengan penasaran.

“Aku lagi marah sama kamu dan Bima”, jawab Noni dengan berjalan keluar kelas.

“Marah sama aku dan Bima? Masalahnya apa?”, tanyaku sambil membuntuti Noni yang melangkah ketempat duduk di depan kelas.

“Rupanya aku hanya di buat jembatan antara kamu dan Bima, pantas saja kamu dengan senang hati memperkenalkan Bima padaku” kata Noni dengan nada marah.

“Jembatan, jembatan apa? Bima mengatakan apa sama kamu, aku tidak mengerti maksudmu Non”, tanyaku dengan heran.

“Sudahlah tidak usah munafik, kamu bilang hubunganmu dengan Bima hanya sebatas adik dan kakak. Tapi……” Dia terhenti dengan kata-katanya. Air matanya pun menetes dan membuatku tambah bingung.

“Tapi apa?” aku tidak sabar ingin tahu permasalahannya.

Dia menyodorkan hpnya padaku. “Baca, ini sms dia kemarin...!!”
Aku menyukainya, aku sangat menyayanginya.  Aku ingin hubunganku dengannya lebih dari sekedar kakak adik. Kamu mau kan bantu aku. Dan satu lagi, aku minta fotonya.Terima kasih ya teman.
“Kamu tega mempermainkan perasaanku, kamu tega mempermalukanku di depan Bima. Kamu bukan sahabatku lagi. Seorang sahabat tidak akan menyakiti sahabatnya sendiri”, Kata Noni sambil berlari masuk ke dalamn kelas.

Aku hanya diam membisu mendengar perkataan Noni itu. Sebetulnya aku tidak peduli Noni marah-marah padaku. Yang ada dipikirannku hanya Bima. Sejuta tanya di hatiku, apa dia juga merasakan apa yang aku rasakan?

“Haii...”, sapa Ana dan Wati tiba-tiba saat keluar dari kelas.

“Kenapa Ning, Kok Noni sepertinya habis nangis. Kalian bertengkar ya? Sampai-sampai Noni jadi seperti itu?” tanya Wati padaku.

“Tidak Wat, cuma salah paham. Sudahlah ayo kita masuk bel sudah berbunyi” aku menggandeng tangan Wati dan Ana memasuki kelas.

Aku hanya diam dan melamun saja. Saat itu aku benar-benar tidak menyangka akan jadi sepeti ini. Jadi saat itu kubiarkan kemarahan Noni tertumpah padaku dan juga tuduhan-tuduhannya itu, walaupun hatiku sakit mendengar kata-katanya itu.

Setelah bel berbunyi tanda istirahat tiba, saat itu juga aku mencari Bima di Perpustakaan untuk mengetahui kebenaran dari semua yang telah terjadi. Ternyata benar, Bima ada di sana. Aku lalu menghampirinya yang sedang duduk dipojok ruangan.

“Bima, kamu sms apa sama Noni, kenapa dia sampai begitu marah padaku?” tanyaku mengagetkannya.

“Eh…. kamu Ning, duduk dulu nanti kuceritakan yang sebenarnya padamu”, jawab Bima dengan santai.

“Aku hanya minta tolong padanya untuk memintakan fotomu, apa itu salah? Dan Noni juga tanya, apa sebenarnya perasaanku padamu. Ya... Aku jawab kalau sebenarnya aku menyukaimu tapi aku takut mengatakannya, takut kamu marah” jelas Bima panjang lebar.

Aku terkejut mendengar penjelasannya. Aku juga bingung, disatu sisi aku suka padanya tapi di sisi lain ada sahabatku yang juga mempunyai perasaan yang sama.

“Aduh Bima, kenapa ngomong begitu sama Noni”, tanyaku.

“Kenapa ?” Tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

“Tapi…, Noni menyukaimu, apa kamu nggak merasa sikapnya yang begitu perhatian sama kamu” ucapku.

Bima mendekatkan kursinya padaku, dan meraih tanganku yang tergeletak di atas meja. Sambil menatap mataku ia berucap perlahan. “Aku menganggap Noni hanya temen biasa, kalaupun dia memberi perhatian lebih sama aku karena dia menyukaiku, itu hak dia. 

Aku tidak bisa merubah perasaanku padanya” Matanya masih tetap memandangku membuatku semakin salah tingkah. “Bim..., tapi aku ini kakakmu dan kita cuma teman”, kataku pada Bima sambil sesekali menatap matanya yang tajam.

“Kenapa ? kamu tidak suka sama aku. Apa ada perbedaan usia dalam cinta?” Tangannya menggenggam tanganku semakin erat dan tatapannya semakin tajam yang membuat hatiku berdebar. Aku bingung harus mengatakan apa padanya. Tidak ada sepatah katapun yang terlontar dari mulutku.

“Kalau kamu anggap aku salah dan kurang sopan telah mencintai kakak kelas. Aku tidak memaksamu untuk menyukaiku dan membalas cintaku, tapi aku mohon jangan kamu paksa aku untuk menyukai sahabatmu. Karena aku tidak mengobral cintaku. Jangan sok jadi Pahlawan kalau hatimu sengsara. Aku tunggu jawabanmu segera”, Bima pergi meninggalkanku yang masih terdiam membisu.

Tidak terasa hari beranjak siang, bel berbunyi pertanda jam sekolah sudah usai. Ketika aku berjalan sampai di depan gerbang sekolah aku melihat Bima, dia tersenyum padaku. Akupun membalas senyumannya. Dalam perjalanan pulang aku tidak henti-hentinya memikirkan apa yang dikatakan Bima. Nampak ada suatu kemarahan yang tersirat dalam perkataanya, terbukti ia mengatakan bahwa dia tidak megobral cinta.

Sesampainya di rumah aku masih memikirkan bagaimana caranya untuk menyatukan Noni dengan Bima. Sedangkan belum kukatakan maksudku dia sudah mengunciku dengan kata-kata jangan jadi Pahlawan dan dia tidak mengobral cinta. Aku sangat bingung, apa yang harus aku lakukan. Aku tidak mungkin mengorbankan persabatanku dengan Noni hanya karena Bima. Jika aku menerima Bima jadi kekasihku, aku pasti akan kehilangan sahabatku. Akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Bima.

“Hallo.. Bimanya ada ?” tanyaku.

“Ada apa Ning, apa kamu sudah siap menjawabnya sekarang?” Ternyata dia sudah hafal dengan suaraku.

“Bim,kamu jangan terburu-buru mengambil keputusan untuk menjalin hubungan denganku. Bukankah Noni juga sangat baik dan sangat perhatian padamu”, aku berharap Bima tidak marah dengan ucapanku.

“Sudahlah Ning, aku sudah tahu dan sangat mengerti maksudmu. Tidak usah basa-basi, katakan saja kamu menolakku karena kamu anggap aku tidak pantas denganmu, aku masih kecil. Tidak usah mencari alasan dengan menjodohkan aku dengan sahabatmu.”

Lalu tidak terdengar lagi suara Bima, dia sudah menutup telponnya. Baru kali ini dia marah padaku. Hatiku sakit. Aku sayang padanya, aku tidak ingin kehilangan dia tapi aku juga tidak ingin kehilangan sahabatku.

Kurebahkan tubuhku di atas ranjang, kubiarkan air mataku terus menetes dan dengan perlahan kucoba memejamkan mata.

***

Pagipun kembali datang. Matahari mulai menampakkan wajah terangnya di bumi. Kembali aku seperti biasanya. Pergi ke Sekolah, dengan membawa kebimbangan hati. Dari jauh kulihat Noni, setelah aku hampir mendekatinya dia pindah tempat. Aku tahu dia memang sengaja menghindariku. Mungkin dia masih marah padaku. Sampai di depan pintu kelas, Wati dan Ana menghadangku.

“Ningsih, sebentar aku mau bicara”, kata Wati seraya menarik tanganku agar duduk di sebelahnya.

“Ada apa, serius amat kalian ini?” tanyaku, aku berusaha bersikap tenang pada mereka.

“Sebentar Wat, kita ucapkan selamat dulu pada teman kita ini”, kata Ana dengan senyum-senyum.

“Selamat.... Untuk hal apa?”, tanyaku sedikit heran.

“Oh... iya, Selamat ya... Kamu sudah jadian sama anak kelas satu yang cakep itu. Tapi kamu jahat, kamu nggak pernah cerita sama kita, takut cowoknya diambil sama kita yah...?,” ledek Wati.

“Jadian sama Bim ?” aku semakin tidak mengerti maksud mereka.

“Kata Noni kamu sudah jadian sama Bima dan kemarin kita juga lihat kamu keluar dari Perpustakaan dan sebelumnya juga Bima keluar dari sana.” ucap Ana dengan semangat.

“An, itu tidak benar. Aku bertemu dengan Bima di Perpustakaan kemarin untuk menjernihkan masalah,” jawabku.

“Sudahlah Ning, kami sudah tahu semua masalahmu dengan Noni. Kalau kamu menyukai Bima terima saja dia.” saran Ana.

“Apa kalian akan mengorbankan kebahagiaan Noni? Apa aku bisa bahagia di atas kesedihan orang lain?” ucapku dengan menahan emosi.

“Sudahlah ayo masuk dulu, kalian tidak dengar bel sudah berbunyi”, Wati menarik tanganku.

Di dalam kelas Noni tidak menoleh sedikitpun padaku. Keadaan kelas nampak sepi. Mereka nampak serius mendengarkan Guru Matematika yang sedang membahas soal yang begitu rumit. Cuma pikiranku saja yang tidak menyatu dengan mereka.

Akhirnya bel istirahat berbunyi. Aku, Wati, dan Ana pergi kekantin sementara Noni memang sengaja tidak ikut.

“Ning, lihat itu Bima, kelihatannya dia juga mau kekantin. Wah… An, nampaknya mereka sudah sehati. Ningsih ke Perpustakaan Bima juga kesana. Sekarang Ningsih ke kantin, Bima juga ke kantin. Jangan-jangan kalian janjian. Kita jadi mengganggu aja,” kata Wati dengan senyum-senyum meledekku.

“Janjian ? Aku nggak janjian sama Bima,” jawabku.

“Oh… jadi ceritanya cuma kebetulan saja !” kata Wati dan Ana dengan kompak. 

Sesampainya di kantin, Bima juga sampai di sana. Tapi anehnya dia tidak menoleh sedikitpun padaku. Dia sengaja berpura-pura tidak melihatku. Ana dan Wati sama-sama memandangku dengan rasa heran melihat sikap Bima yang seolah-olah tidak mengenalku.

Setelah makan bakso selesai Ana dan Wati mengajakku duduk di dekat kantin yang kebetulan di sana ada bangku kosong dan juga sepi. Mereka kembali mengintrogasiku. “Ning, kenapa Bima cuek sama kamu. Apa kamu sudah menyakitinya”, tanya Ana dengan penasaran.

“Mungkin juga An. Aku menyuruhnya untuk menyukai Noni dan jangan menyukaiku”, jawabku.

“Hah… kamu gila, kamu menolak cinta Bima. Padahal banyak yang antri untuk merebut hatinya. Aku saja tidak akan menolak jika dia menyatakan cinta padaku. Sayang sekali kalau cowok cakep seperti dia dibiarkan lewat begitu saja”, kata wati sambil tertawa.

“Huh… dasar, memang kamu saja Wat yang nggak bisa lihat cowok cakep. Lalu Ning, cuma itu alasanmu menolak cinta Bima?” tanya Ana.

“Ya… cuma itu, aku bingung. Lagian hubunganku selama ini cuma sebatas kakak dan adik”, kataku.

“Ning, sebuah hubungan bisa berubah kapan saja asalkan didasari oleh perasaan saling menyayangi dan mencintai. Musuh saja bisa menjadi sepasang kekasih bila diantara mereka ada perasaaan mencintai. Sekarang jawab pertanyaanku dengan jujur. Apakah kamu sayang sama Bima? Apa kamu bisa merelakan Bima jalan sama Noni sementara hatinya tersiksa gara-gara dia tidak mencintai Noni? Apa kamu memang sengaja menyakiti hati Bima?”, kata Noni dengan pandangannya yang mendalam padaku.

“Tentunya tidak, aku tidak ingin menyakiti Bima. Aku juga tidak ingin dia bersikap seperti itu padaku.”, kataku dengan menunduk.

“Nah…, berarti kamu mencintai Bima. Tapi kamu tidak membiarkan cintamu itu tumbuh. Sekarang coba kamu pikir, menurutmu apakah kamu sudah berjasa telah menyatukan Noni dengan Bima. Bagaimana jika nanti mereka jadian, tidak lama kemudian Bima memutuskan Noni. Apakah Noni tidak sedih. Lebih baik kita bunuh cinta Noni sekarang daripada nanti dia lebih dalam luka dihatinya. Noni harus terima kenyataan kalau cintanya tidak bersambut. Sudahlah Ning, terima saja cinta Bima. Nanti biar aku dan Wati yang akan menyadarkan Noni. Ini demi kebaikan kalian berdua”

Perkataan Ana membuat hatiku sedikit lega. Tapi aku masih tidak yakin. Aku tidak ingin kehilangan salah satu dari mereka. Aku takut Noni tidak mau memaafkan aku dan aku juga takut Bima menjauhiku. Aku sangat sayang keduanya.

Seminggu sudah berlalu dari hari dimana aku diberi ceramah sama Ana dan Wati. Dalam waktu seminggu itu aku tidak berbuat apa-apa.

Hari itu sekolah mengadakan rapat untuk membahas pelaksanaan UAN (Ujian Akhir Nasional) bagi anak kelas tiga. Jadi hari itu tidak ada pelajaran, tapi siswa tidak boleh pulang. Seperti biasa aku pergi ke Perpustakaan dan berharap ada Bima di sana. Aku sangat rindu padanya. Berhari-hari dia mengabaikan aku.

Sesampainya disana aku tidak menemui Bima. Tapi aku tetap masuk saja untuk sekedar membaca buku. Tidak lama aku duduk, ada suara langkah kaki mendekatiku. Dan dia memengang pundakku kemudian duduk di sebelahku.

“Hai…Ning, maaf aku mengganggu”. Aku menoleh kearahnya.

“Hai …Non, kamu tidak menggangguku justru aku sangat bahagia kamu mau bicara lagi padaku”.

“Ning, aku kesini mau minta maaf sama kamu. Selama ini aku yang egois. Aku bertinggkah seperti anak kecil dan aku tidak pantas disebut sebagai sahabat. Karena aku sudah menyakitimu dengan menghalangi cintamu pada Bima. Untung Ana dan Wati segera menyadarkan aku.” Ucap Noni dengan penuh penyesalan.

“Sudahlah Non, aku sudah memaafkanmu dan aku tidak marah padamu”, kataku sambil memeluk Noni.

“Eh…, aku punya kejutan, tapi kamu harus tutup mata dulu. Ok!!!”, kata Noni sambil melepaskan pelukanku.
“Apa?” tanyaku penasaran.

“Sudahlah kamu tunggu sebentar ya....!”, kata Noni seraya meninggalkan aku.

Tidak lama kemudian ada seseorang memegang mataku dari belakang. Ternyata setelah kubuka tangannya, orang itu adalah Bima. Aku sangat terkejut hingga aku diam bagaikan patung. Dan Noni meraih tanganku kemudian menyatukannya dengan tangan Bima. Aku sangat bahagia. Aku peluk Noni dan tidak terasa air mataku menetes dipundak Noni begitu juga dengannya. Terdengar bisikan Noni yang mengatakan, “Aku adalah sahabatmu selamanya."

Sumber: www.yusmalida.co.cc

0 komentar:

Posting Komentar