Hingga kini, Indonesia masih layak disebut sebagai “negara agraris”. Statistik mencatat, meskipun transformasi struktur ekonomi kian mengantarkan kita menuju negara yang perekonomiannya lebih ditopang oleh sektor industri dan jasa, sektor pertanian dalam arti luas–yang mencakup subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan–masih merupakan leading sector dalam perekonomian. Sektor ini juga masih menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar angkatan kerja.
Pada awal dekade 70-an, hampir separuh output perekonomian nasional tercipta di sektor pertanian. Pangsanya mencapai 45 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada saat yang sama, sekitar 67 persen angkatan kerja kita juga menggantungkan hidupnya di sektor pertanian.
Kini, setelah empat dekade berlalu, struktur perekonomian nasional telah jauh berubah. Sektor pertanian tak lagi dominan. Di 2011,misalnya, pangsanya tinggal 14,7 persen terhadap PDB, menempati posisi kedua setelah industri pengolahan (24,3 persen).
Namun demikian, sektor pertanian tetap menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar angkatan kerja. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sekitar 36,5 persen (41,20 juta orang) dari 112,80 juta penduduk yang bekerja pada Februari 2012 menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. Artinya, jika bukan karena sektor pertanian, angka pengangguran terbuka di negeri ini dapat dipastikan akan meledak.
Pangsa terhadap PDB yang terus mengecil dan pada saat yang sama tetap menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar angkatan kerja merupakan bukti sahih bahwa transformasi struktur ekonomi yang terjadi selama empat dekade terakhir ternyata tidak dibarengi dengan transformasi struktur ketenagakerjaan yang berimbang. Dengan kata lain, ekspansi sektor industri dan jasa ternyata gagal menyerap fraksi terbesar angkatan kerja di sektor pertanian.
Konsekwensinya jelas, produktivitas sektor pertanian terus merosot dan kondisi kesejahteraan mereka yang “mengais nasi” di sektor ini tak banyak berubah. Ini terkonfirmasi melalui perkembangan upah riil (daya beli) buruh tani yang terus merosot dan statistik nilai tukar petani (NTP) yang cenderung melandai alias stagnan. Upah harian (riil dan nominal) buruh tani–yang jumlahnya mendekati 5 juta orang–bahkan lebih rendah dari upah harian buruh bangunan.
Pada awal dekade 70-an, hampir separuh output perekonomian nasional tercipta di sektor pertanian. Pangsanya mencapai 45 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada saat yang sama, sekitar 67 persen angkatan kerja kita juga menggantungkan hidupnya di sektor pertanian.
Kini, setelah empat dekade berlalu, struktur perekonomian nasional telah jauh berubah. Sektor pertanian tak lagi dominan. Di 2011,misalnya, pangsanya tinggal 14,7 persen terhadap PDB, menempati posisi kedua setelah industri pengolahan (24,3 persen).
Namun demikian, sektor pertanian tetap menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar angkatan kerja. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sekitar 36,5 persen (41,20 juta orang) dari 112,80 juta penduduk yang bekerja pada Februari 2012 menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. Artinya, jika bukan karena sektor pertanian, angka pengangguran terbuka di negeri ini dapat dipastikan akan meledak.
Pangsa terhadap PDB yang terus mengecil dan pada saat yang sama tetap menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar angkatan kerja merupakan bukti sahih bahwa transformasi struktur ekonomi yang terjadi selama empat dekade terakhir ternyata tidak dibarengi dengan transformasi struktur ketenagakerjaan yang berimbang. Dengan kata lain, ekspansi sektor industri dan jasa ternyata gagal menyerap fraksi terbesar angkatan kerja di sektor pertanian.
Konsekwensinya jelas, produktivitas sektor pertanian terus merosot dan kondisi kesejahteraan mereka yang “mengais nasi” di sektor ini tak banyak berubah. Ini terkonfirmasi melalui perkembangan upah riil (daya beli) buruh tani yang terus merosot dan statistik nilai tukar petani (NTP) yang cenderung melandai alias stagnan. Upah harian (riil dan nominal) buruh tani–yang jumlahnya mendekati 5 juta orang–bahkan lebih rendah dari upah harian buruh bangunan.
Ada data yang menyebutkan bahwa laju konversi lahan sawah mencapai 100 ribu hektar per tahun, dan hanya mampu diimbangi oleh pemerintah dengan pencetakan 40 ribu hektar sawah baru setiap tahunnya. Artinya, setiap tahun ada seluas 60 ribu hektar sawah yang lenyap. Tanpa upaya serius dari pemerintah, dapat dipastikan, kurang dari 20 tahun ke depan tak akan ada lagi lahan sawah di negeri ini. Sekedar mengingatkan, luas lahan sawah saat ini tinggal 7,5 juta hektar (ditambah 9,7 juta hektar lahan kering).
Celakanya, sekitar 80 persen konversi lahan sawah terjadi di wilayah sentra produksi pangan nasional: Pulau Jawa. Data hasil audit lahan yang dilakukan Kementerian Pertanian (Kementan) dan BPS mengungkap fakta, sepanjang tahun 2008 hingga 2010 laju konversi lahan sawah di Pulau Jawa sebesar 600 ribu hektar atau secara rata-rata mencapai 200 ribu hektar per tahun.
Derasnya laju konversi lahan pertanian yang terjadi selama ini juga tidak terlepas dari kondisi ekonomi petani yang sulit. Tekanan biaya hidup yang terus meningkat dan kebutuhan tersier yang tak mungkin dielakkan menjadikan ekonomi usaha tani kian sulit untuk dijadikan tumpuan. Melepas hak milik atas lahan garapan pun akhirnya menjadi pilihan. Hasilnya kemudian digunakan sebagai modal usaha kala terjun di sektor informal atau untuk membiayai ongkos merantau ke kota.
Masa depan petani yang lebih baik
Faktual, hingga kini sektor pertanian–khususnya tanaman pangan–tetap menjadi kantong kemiskinan. BPS mencatat, pada Maret 2012, sekitar 63 persen (18,48 juta orang) dari 29,13 juta penduduk miskin negeri ini tinggal di perdesaan. Mudah diduga, sebagian besar mereka adalah petani dan buruh tani. Karena itu, sektor pertanian sebetulnya merupakan kunci utama keberhasilan pengentasan kemiskinan di negeri ini. Rumusnya sederhana, jika kondisi kesejahteraan petani dan buruh tani semakin baik, dapat dipastikan jumlah penduduk miskin akan berkurang secara signifikan.
Sejarah yang terekam melalui angka-angka statistik menunjukkan, capaian mengesankan pengurangan kemiskinan selama masa Orde Baru tidak lepas dari donasi sektor pertanian. BPS mencatat, di tahun 1976, jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta orang atau sekitar 40,1 persen dari total penduduk Indonesia kala itu. Dua dekade kemudian, jumlah penduduk miskin telah berkurang menjadi 34,01 juta orang atau sekitar 17,74 persen dari total penduduk.
Tak bisa ditampik, pertumbuhan pesat di sektor pertanian hingga penghujung dekade 80-an telah memberi donasi yang tidak sedikit bagi penurunan yang cukup tajam tersebut melalui peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja.
Sayangnya, saat ini sektor pertanian tengah megap-megap dikepung sejumlah masalah. Selain laju konversi lahan yang disebutkan sebelumnya, sektor pertanian–tanaman pangan–juga tengah dihadapkan pada berbagai persoalan pelik, seperti penguasaan lahan yang kian sempit (guremisasi), lahan yang tak lagi subur, produktivitas yang melandai, anomali iklim, ketidakjelasan pasokan air (52 persen jaringan irigasi teknis dalam kondisi rusak), serangan hama/organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang kain mengganas, hingga tak ada lagi pemuda negeri yang mau menjadi petani (sebagian besar petani kita berumur tua).
Jangan heran kalau penurunan jumlah penduduk miskin terus menunjukkan gejala perlambatan (kurang dari 1 persen per tahun), dan target tingkat kemiskinan di bawah 10 persen serasa begitu sulit direngkuh. Padahal, telah puluhan triliun dana digelontorkan pemerintah untuk itu (mencapai 90 triliun di 2012).
Sekali lagi, penurunan jumlah penduduk miskin yang signifikan hanya akan terwujud jika terjadi perbaikan kesejahteraan petani dan buruh tani yang juga signifikan. Jika mereka sejahtera, tingkat kemiskinan di bawah 5 persen pun bukan sesuatu yang mustahil untuk dicapai.
Kontributor terbesar penduduk miskin selama ini adalah profesi buruh tani dan petani (kecil dan penggarap). Saat ini, jumlah buruh tani sekitar 5 juta orang dan jumlah rumah tangga usaha tani (RUT) diperkirakan mencapai 17,8 juta (15 juta diantaranya adalah rumah tangga usaha tani padi). Jika kita asumsikan setiap RUT beranggotakan 4 anggota rumah tangga, artinya ada sekitar 80 juta penduduk negeri ini yang menggantungkan hidupnya pada ekonomi usaha tani.
Karena itu, membangun sektor pertanian yang kuat dan tangguh guna mewujudkan masa depan petani dan buruh tani yang lebih baik merupakan sebuah keharusan. Dan, terkait hal ini, ketersedian data yang lengkap dan akurat tentang sektor pertanian adalah sebuah keniscayaan agar perumusan kebijakan yang akan diambil benar-benar fokus lagi tajam.
Tahun 2013, data lengkap tentang sektor pertanian akan kembali dikumpulkan oleh BPS melalui Sensus Pertanian (ST). ST adalah kegiatan sepuluh tahunan untuk memotret kondisi sektor pertanian, yang hingga kini sudah lima kali dihelat. ST kali keenam akan dihelat pada tahun 2013 nanti, yang mengusung tema “menyiapkan informasi untuk masa depan petani yang lebih baik.”
Saat ini, segenap persiapan tengah dilakukan. Partisipasi semua pihak yang bersinggungan dengan ST 2013 tentu juga amat diharapkan, baik itu para pemangku kepentingan (stakeholders) maupun petani sebagai sumber informasi. Kesuksesan sensus kali ini akan sangat menentukan arah pembangunan sektor pertanian–setidaknya dalam sepuluh tahun ke depan–guna mewujudkan masa depan petani yang lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar