Dulu ketika saya masih berusia 17 tahun dan masih tinggal jauh di pedalaman bersama orang tua, saya sangat senang bila ada kesempatan untuk pergi ke kota meski hanya untuk menemani ibu atau ayah berbelanja ke pasar.
Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota guna menghadiri konferensi sehari penuh. Karena tahu kami akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.
Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berpesan, “Ayah akan tunggu kamu di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama. Sekarang pergilah ke bengkel.”
Segera saja saya melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang telah diberikan ayah dan mencarikan pesanan ibu. Karena waktu masih banyak tersisa dan semua tugas telah saya selesaikan, maka saya putuskun untuk pergi ke bioskop dulu sambil menunggu waktu. Saya terpikat dengan cerita filmnya sampai-sampai saya lupa akan waktu. Begitu melihat jam telah menunjukkan pukul 17:30, langsung saja saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu dari tadi.
Saat itu sudah hampir pukul 18:00 ketika saya tiba di tempat ayah menunggu. Dengan gelisah ayah menanyai saya, “Kenapa kau terlambat?”
Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film, sehingga saya hanya menjawab, “Oo..Oo..Tadi, mobilnya belum selesai yah, sehingga saya harus menunggu lama.” Ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil tersebut. Dan kini ayah tahu kalau saya telah berbohong.
Dengan sedih ayah berkata kepada saya, “Ada sesuatu yang salah dalam membesarkanmu selama ini sehingga kamu tidak memiliki keberanian untuk menceritakan yang sebenarnya kepada ayahmu sendiri. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkan hal ini baik-baik.”
Lalu, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah begitu saja, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang ia alami karena kebohongan bodoh yang saya lakukan.
Sejak itu seringkali saya berfikir dan merasa heran. Mengapa ayah menghukum saya seperti itu, seandainya ayah menghukum saya seperti pada setiap orang tua pada umumnya, apakah saya akan mendapatkan SEBUAH PELAJARAN MENGENAI KESALAHAN ? Saya kira tidak, saya akan menderita atas hukuman itu dan akan mengulangi hal yang sama pada anak-anak saya kelak. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa dari ayah, dapat menyedarkan saya dan memberi kesan yang sungguh mendalam sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah KEKUATAN TANPA KEKERASAN yang telah diajarkan oleh ayah saya."
0 komentar:
Posting Komentar