Di Karangayu Jawa Tengah, hiduplah seorang pembuat sekaligus penjual tempe. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang.” Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya” demikian dia selalu memaknai hidupnya.
Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi, deg! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian.
Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti tidak akan mendapatkan uang untuk makan dan modal membeli kedelai yang akan dia olah kembali menjadi tempe.
Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Tuhan, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. “Ya Tuhan, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Tuhan, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku”
Dalam hati, dia yakin, Tuhan akan mengabulkan doanya. Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe.
Dan dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacangnya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia yakin, Tuhan pasti sedang “memproses” doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Tuhan tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. Ya Tuhan, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau maha tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Tuhan jadikanlah, Bantulah aku, kabulkan doaku.
Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan belum jadi. Kacang itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang tersebut. Keajaiban Tuhan akan datang pasti, yakinnya.
Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, “tangan” Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa… berkali-kali dia yakinkan diri, Tuhan pasti mengabulkan doanya.
Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu. “Pasti sekarang telah jadi tempe!” batinnya.
Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi. Kecewa, air mata menitik di keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.
Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu.
Dan dia tiba-tiba merasa lapar merasa sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku, batinnya. Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan esok dia pun tak akan dapat makan.
Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan “teman-temannya” sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya mulai memuncak.
Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat.
Tiba-tiba sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik paro baya tengah tersenyum memandangnya. Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya? Penjual tempe itu bengong. Terkesima, tiba-tiba wajahnya pucat.
Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menengadahkan tangan. Ya Tuhan, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe.
Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe.
Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi? tanya perempuan itu lagi. Kepanikan melandanya lagi. “Duh Gusti bagaimana ini? Tolonglah jangan jadikan tempenya” ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat, pembaca?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi!
“Syukurlah!” pekiknya. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari tempe yang belum jadi?”
Ooh, bukan begitu Bu. Anak saya yang kuliah di Australia ingin sekali makan tempe asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana dengan keadaan yang masih baik, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu?
***
Kawan, dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa dan “memaksakan” Tuhan memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa. Padahal Tuhan paling tahu apa yang paling cocok untuk kita. Bahwa semua rencananya adalah sangat sempurna.
Sumber: achoey.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar