TELUK Karangbandung sebelah timur Pulau Nusakambangan menyimpan mitologi yang hingga sekarang masih diyakini nelayan setempat. Di sana ada sebuah pulau bernama Majeti. Istana atau Keraton Ratu Kidul dipercaya ada di sekitar pulau tersebut. Karena itu, tidak boleh sembarangan jika sedang berada di Teluk Karangbandung. Apalagi jika berada di dekat Pulau Majeti, pulau kecil yang dipercaya para nelayan sebagai wingit dan angker. Sesaji labuhan warga setempat, lalu dipusatkan di tempat itu. Berdasar cerita Mbah Helmi warga Cilacap, ada beberapa kejadian aneh yang menimpa nelayan dan peziarah di Pulau Majeti. Di antaranya terjadi pada dua nelayan Kebonbaru. Kejadian itu menimpa saat usinya 30 dan 25 tahun.
Ketika perahu kecil itu berada di dekat Pulau Majeti, terdengar suara seorang wanita memanggil-manggil nama mereka. Ketika itu nelayan bernama Tumino yang masih berumur 25 tahun menoleh ke arah suara. Terang saja membuat teman-temannya menjadi cemas. Pasalnya, ada pamali dilarang menoleh bila ada suara-suara memanggil. Kali itu, Tumino melanggar pantangan. Dia menoleh ketika namanya dipanggil. Padahal menurut kepercayaan setempat, yang memanggil itu tak lain adalah dhemit atau hulubalang Kanjeng Ratu Kidul.
Ketika itu tak ada ombak maupun angin besar. Kalau pun ada angin, hanya angin semilih saja. Tumino pun kemudian mendekati Permisan. Di luar dugaan, laut yang semula tenang itu kemudian disapu badai. Terang saja mendadak muncul ombak bergulung-gulung. Tumino dengan perahunya yang mungil diangkat ombak besar, kemudian dihempaskan pada dinding karang. Perahunya jadi luluh lantak. Tumino hilang ditelan laut selatan. Sedang temannya terlempar ke darat, meskipun selamat, tetapi tubuhnya penuh luka.
Kejadian aneh lainnya dialami pemuda Bahrun yang juga nelayan. Saat kejadian, masih berumur 20 tahun. Waktu itu ia ikut ziarah di Pulau Majeti. Di sana ia melihat batu dengan sinar merah, hijau dan putih bening. Karena amat bagus, batu itu lalu dibawa pulang.
Sampai di Sidakaya Cilacap, rumahnya, hari sudah malam. Kedua orang tuanya sudah tidur. Tetapi tiba-tiba kedua ortunya terbangun, karena terganggu oleh suara yang amat gaduh. Seperti ada benda-benda yang saling berbenturan. Anehnya, Bahrun justru tidak mendengar suara apa-apa.
Atas kejadian itu, keluarga Bahrun mengadu pada Mbah Suro, spiritualis desanya. Mbah Sura yang waskita menyarankan agar batu tadi dikembalikan ke Pulau Majeti. Setelah dikembalikan, suara gaduh tak terdengar lagi di rumah Bahrun.
sumber : metro balikpapan
0 komentar:
Posting Komentar